Latest News

Monday, March 9, 2015

TUHAN YESUS KOQ MARAH ! ?


TUHAN YESUS KOQ MARAH!?

Bagi yang suka pencitraan, memegang teguh kesantunan, menempatkan keselarasan
dlsb. "marah" adalah perilaku yang tidak terpuji. Ini adalah salah satu dari tujuh induk dosa "sokicailomama" (sombong, kikir, cabul, iri-hati, loba, marah dan malas). Lalu mengapa di da1am Injil yang diperdengarkan dan diwarta­kan hari ini (Minggu Prapaska III 2015: Yoh 2: 13-25), Tuhan Yesus marah-marah dan mengusir orang­-orang yang menyalah gunakan Bait Allah untuk bisnis? Jelas bahwa secara sosial kemasyarakatan tindakan Yesus tidak simpatik, tidak etis, tidak populer, arogan, dlsb. Ia bukan seorang konformis, yang memegang keselarasan agar ke­harmonisan di dalam keberagaman sosial tetap terjaga. Ia tidak merasa minor di tengah-tengah para imam, ahli taurat, orang-orang farisi, penjaga Bait Allah, dIsb. yang permisif menjadikan Bait Allah sebagai "a big market" alias "super market". Para murid Yesus, di akhir nanti mengambil kesimpulan bahwa cinta akan rumah AllahBapa telah membakar hati Yesus. Hati­Nya menjadi hangus. Ia benci ter­hadap praktek mencampuradukkan tempat sakral dengan berbagai macam kegiatan yang profan. Ini bagian dari misi Yesus untuk mengalahkan dosa manusia.

"Marah" dapat menjadi ambivalen, yang artinya bermakna ganda. Nah, di da1amYesus Kristus, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, dapat kita perhatikan dua hal berikut ini :

Pertama, "Orang tidak bisa marah" dan menjadi santun menurut ukuran sosial-kemasyarakatan adalah bagian dari dosa sosial yang membelenggu. Mengapa? Karena ada larangan, "Jangan marah!" Pembatinan larangan ini masuk ke dalam pribadi kita dan menjadi mekanisme pertahanan diri. Kita menjadi permisif untuk hal-hal yang sebenarnya menimbulkan ke­kecewaan karena diperlakukan tidak adil, merasa tidak dihargai atau disepelekan, dlsb. Orang tidak lagi berperilaku spontan, karena sela1u harus menjaga diri demi keselarasan hidup bersama orang lain, terlebih yang jauh lebih tua daripada dirinya.

Spontanitas, kepolosan, berterus­terang, transparan...ada1ah kualitas kepribadian manusia, yang bisa hilang dari dirinya, karena ditekan oleh otoritas di luar dirinya, yaitu tatanan masyarakat yang secara imperatif mengatakan, "Jangan marah! Jangan emosionil! Jangan sok melawan! Jangan arogan! Kamu harus bisa menjaga diri!" Yesus mengajak kita untuk menjadi seperti anak kecil, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Solga."(Luk 11:3). Yesus, yang tidak mau pura-pura dan mengajak kita untuk dengan tegas melaksanakan sabdaNya, "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan:

tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat," adalah Dia yang ingin menempatkan kita ini sebagai anak-anak Allah Bapa di Surga.


Kedua, Yesus marah, karena Ia sedang menempatkan kehendak Allah Bapa sebagai "Suprema Lex" atau "Hukum Yang Utama dan Pertama". Di dalam Doa Bapa Kami kita temukan, "Jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam Sorga." Oleh Yesus doa ini bukan sekedar diucapkan, tetapi dihidupi. Sampai-sampai ketika Dia sedang berdoa di taman Getsemani, Ia mengatakan, "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." (Mrk 14: 36). Godaan terbesar manusia jatuh ke dalam dosa ialah ketika ia mau menempatkan dirinya sebagai pusat dan bahkan menyamai Allah. Para hamba Allah yang bertugas melayani Jema'at­Nya dapat jatuh ke dalam dosa berat, yaitu ketika atas nama Allah bertindak secara sewenang-wenang terhadap umatNya. Kekuasaan para hamba Allah dapat sedemikian tidak terbatas, bahkan sampai mencabut nyawa manusia, seperti sedang dilakukan oleh anggota ISIS di daerah Timur Tengah. 

Demikian sudah lebih dulu terjadi 2000 tahun lalu seorang Imam Agung, yaitu Kayafas, mengambil keputusan agar Yesus dihukum mati. Yesus yang dapat membangkitkan orang mati dan Dia sendiri dibangkitkan oleh Allah Bapa, telah mengosongkan diri untuk menjadi "obyek" kemarahan orang-orang berdosa. Dia yang atas nama Allah dapat marah, telah merendahkan Diri agar kehendak Allah terjadi. Demikianlah di hadapan Konstitusi atau Undang­undang Dasar untuk hidup Berbangsa dan Bernegara, kepentingan rakyat di-kedepankan lebih daripada kepentingan sekelompok orang atau partai. Ungkapan dari jaman Santo Ambrosius (th 339-397), "Vox Populi = Vox Dei" (Suara Rakyat = Suara Allah) sering dijadikan pegangan oleh kita yang hendak memperjuangkan kesejahteraan rakyat lebih daripada kepentingan segerombolan "begal”. Ketika hal ini tidak terjadi, maka ada alasan untuk marah seperti Tuhan Yesus marah, tanpa terjebak pada kesantunan sosial dengan istilah sok jagoan, arogan, sombong, dlsb.

Semakin menyerupai Yesus, yang adalah Allah dan sekaligus manusia, memang tidak mudah. Karena dari satu sisi kita hidup di dalam transendensi ilahi, namun dari lain sisi kita juga hidup di dalam immanensi kemanusiaan dengan corak khas humilitas (humus = Tanah) yang memang tidak bisa disangkal. Kita sekaligus sombong, karena ambil-bagian di dalam keilahian A11ah dan sekaligus rendah hati karena memang corak kefanaan diri manusia yang dapat mati ini tidak dapat dipungkiri. Kita berasal dari tanah dan akankembali menja ditanah.

Doa: Tuhan Yesus, ajarilah kami untuk berpegang teguh pada kehendak Allah Bapa, sebagaimana Engkau telah memberi contoh teladan sampai wafat di kayu salib. Juga apabila kami mesti "marah", buatlah kami marah seperti Engkau yang mencintai Allah Bapa dengan segenap hati, jiwa, pikiran dan tenaga. Jauhkan kami dari semangat suam-suam kuku ketika mesti berhadapan dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Allah di Sorga. Amin.
Salam dan Doa
Pastor Hadrianus Wardjito SCJ
Warta Paroki Santo Barnabas No 10 THN xxII 08 Maret 2015
UNTUK KALANGAN SENDIRI

No comments:

Post a Comment

Tags